Friday, 9 November 2012

Sejarah Kota Makasar

Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan
pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV.
Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu
awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan
tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah
kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri
dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan
kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan
pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan
sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai
Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan
istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun
pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus
tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.
 
Pada
masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng 
Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah
kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan 
aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan 
Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik 
oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan 
Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan 
Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama 
Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah
di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, 
India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar 
Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui 
bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya 
yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan 
barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan 
kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, 
maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan 
berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil 
tainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan 
pertanian lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk 
membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke 
Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi 
di bandar niaga baru itu. 



Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga 
terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk
ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk 
Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai 
sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan 
multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat 
itu, berkat hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan 
perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan 
perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511,
demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan 
armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan 
kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni 
Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis 
ikut berpindah ke Makassar.






Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya 
merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur 
dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, 
kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan
Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan          
perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau 
lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian 
penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan 
perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan-kerajaan         
Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan 
Kekaisaran Otoman di Timur Tengah. 




Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran 
Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal 
dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang 
Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja 
Gowa ke-XIV I MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN 
ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I - MALLINGKAANG DAENG



MANYONRI KARAENG
KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang 
mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9 
Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang 
Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi 
penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada 
waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid 
Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati 
sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang 
sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.





Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut
dalam jaringan perdagangan internasional, dan interaksi 
dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu me¬nyebabkan sebuah         
"creative renaissance" yang menjadikan Bandar Makassar salah 
satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi 
buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langkah di 
Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu 
perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak 
segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh 
pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada 
waktunya, yang dipesan secara khusus



dari
Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin
memper-luas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar 
Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan 
perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. 
Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan 
Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan 
Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat 
merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba 
Opu. 


Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di 
tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti 
Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa 
pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan 
pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan 
Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar 
hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.




Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan 
bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman 
baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng 
pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan 
pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan 'kota
baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan 
'Vlaardingen'. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota 
Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai 
perang, seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada 
pertengahan abad ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 
5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.








Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang 
tertupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada 
abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan 
yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan 
kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan
sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer 
yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' 
itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara 
perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland - bentuknya pun 
bukan 'bentuk kota', tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung 
di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.



Pada
awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini
adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada 
kapal¬kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di 
Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar 
dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para 
saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut 
dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang 
burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan 
dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain 
yang didirikan VOC.




Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen
dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang
lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh
pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru
itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan
kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan
Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang,
komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi
seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk mencarinya; bahkan,
sejak pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut
Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia,
di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan
lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih
merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk
pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar. 





Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan
kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18,
Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai
pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya
menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota
Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi
kembali suatu bandar internasional.



Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar,
jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk
pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal
abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil
terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang
penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port
of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan
Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di
pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di
antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan
daerah-daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai
pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah
dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial
itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami
Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang
dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat
sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua
penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906,
Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa
yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing,
sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang
mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang
dinamis dan kosmopolitan.


Perang
Dunia Kedua dan pendirian Republik Indonesia sekali lagi
mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga
asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing pada akhir tahun 1950-an menjadikannya kembali sebuah
kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang
dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman
yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai
pergolakan pasca revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun
1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa
menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang
baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam
penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan
julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai
Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada
tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13
Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999
Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan
sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah
bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi
175.77 km.




No comments:

Post a Comment